Selasa, 13 Mei 2014

Belum Ada Judul

Udara dingin meski tak didampingi percikan air hujan menemani waktuku yang diselangi untuk menulis tentang ini. Bukan tulisan yang bagus, bukan juga tulisan yang indah, hanya tulisan biasa saja namun entah aku selalu menyukai menulis tentang ini. Bagi kamu yang membaca ini, kalau kamu bukan seseorang yang suka melankolis, aku sarankan jangan baca yaa.... but Enjoy!

Ini untuk Kamu. Kamu, iya Kamu........................

Haruskah aku deskripsikan ulang tentangmu? Ah jangan membuatku tersenyum seperti orang gila.
Langkahan kakimu yang tegak dan berwibawa, membuatku jatuh tergeletak seperti dipanah asmara. Bagai sinar matahari yang amat silau memancarkan cahayanya, seperti kamu, hanya saja kau bersikap dingin, beda dengan matahari yang panas. Namun, sikap dinginmu yang membuatku seperti ingin menyelimutinya.


Bukan lagi tahap pengenalan atau pendekatan, mungkin sekarang lebih ke tahap keputusan.....


Kau tahu, Sayang? Bukankah lucu menjalani ini semua tanpa adanya status?
Bukankah seperti lelucon jika kita saling menyemangati tanpa adanya level lebih dari ini?
Bukankah kita saling mengetahui perasaan satu sama lain?
Mengapa seperti ada keraguan dimatamu?
Aku mencoba mengerti hubungan yang tak berlebelkan status ini. Aku mencoba menjalani dan menikmatinya bersamamu. Ini memang menyenangkan, meski kita belum menjadi kita yang sesungguhnya.

Kau tahu, Sayang?
Sudah cukup menyebalkan jika banyak yang menyangka kalau aku mengagumimu layaknya aku fans dan kau adalah idolaku. Awalnya aku tak masalah......tapi kini aku mulai muak.
Senangkah kau bila orang menganggap aku seorang fansmu?
Jangan samakan aku dengan deretan itu. Aku tak lagi mengagumimu..........sekarang aku menyayangimu.

Bukan maksudku yang selalu menuntutmu tentang status. Aku hanya ingin memastikan seberapa serius kau menjalani ini semua. Aku bosan mendegar katamu yang "Jalanin Aja Dulu'.....
Bila sekarang aku yang memutuskan itu semua untuk berhenti, jangan salahkan aku.
Aku tak lagi ingin masuk kedalam ruang ketidakpastian. Aku masih akan selalu sayang kamu...

Aku terhenyak saat kau mengatakan 'Segini aja perjuangan kamu?'............ aku benci saat kamu mengatakan hal itu saat aku tak lagi ingin mendekapmu.
Bukannya aku yang berhenti berjuang, aku hanya bersikap realistis. Keseriusanmu masih tak dapat aku genggam. Lebih baik aku yang mundur.... kamu memang bisa meretas gundahku, namun ini jalan paling baik. Melepaskanmu bukan berarti tak lagi menyayangimu, bukan?
Namamu akan tetap kugenggam erat dalam doa.
Keputusanku mungkin akan berubah bila kau datang dengan keseriusan yang kau balut dengan bukti.




Rabu, 12 Maret 2014

Terima Kasih Sang Pendekar Hati!

Lagi, otakku mulai kurang ajar, seenaknya memaksa jemari ini untuk menuliskan lagi tentang sosokmu..

Sosokmu yang maya, tak lagi dapat kulihat dengan jelas. Sosokmu yang abu-abu masih saja bisa menusuk relung hatiku. Entah kekuatan apa yang kau punya, kau selalu bisa menembus pagar yang aku bangun untuk tak memikirkanmu. Waktu yang semakin cepat berlalu, seakan sia-sia, aku masih saja mengingat senyum itu.

Masing-masing dari kita kini melangkah, hanya saja langkahanmu lebih jauh dari langkahanku. Bukan inginku untuk melangkah kecil, raksasa kenangan kembali menarikku. Tak kuasa aku untuk melepaskannya. Sedangkan kau yang terus melangkah, tak menoleh kehadapanku, sedikitpun. Aku hanya bisa melihat punggungmu yang hendak melangkah cepat dan mulai tak terlihat. Samar-samar.

Langkahanmu yang terlalu cepat, tak lagi dapat kuhentikan. Sedangkan aku disini masih terjebak dalam ruang nostalgia. Aku berteriak sekuat tenaga. Tak kuasa menahan air mata yang tak lagi bisa dibendung. "Mengapa dia pergi saat aku sedang butuh-butuhnya, Tuhan? Mengapa dia melupakan janji yang disebutnya seputih kapas?"
Bendungan air dari mataku mulai deras. Seluruh wajahku dibanjiri air mata tak berguna. Air mata kekecewaan yang kau pun acuh menyikapinya.

Sunyi sepi, hanya terdengar sesakan tangisanku tadi. Aku mulai menelaah tentang janji yang kau sebut seperti kapas, putih & bersih. Kapas memang putih juga bersih. Namun taukah bahwa kapas itu sangat rapuh, sangat sensitif, dan mudah hancur. Persis janjimu.
Awalnya putih & bersih, kemudian rapuh & hancur dimakan waktu. Sungguh bodohnya aku begitu percaya akan janji dustamu...

Aku ingin membencimu. Aku sangat ingin. Tapi aku kalah dengan hati. Hati ini tak rela membencimu. Hati ini malah merindukanmu. Hati ini selalu ingin merasakan hangatnya kasih sayangmu.
Sungguh sial. Bodoh, terlalu perasa!!!!

Aku tak lagi bisa melangkah dari bayangmu. Aku berhenti dan terdiam disini. Meski kini bayangmu telah bersama impian barumu. Aku tak apa. Aku rela melihat pundakmu merangkul impianmu. Tentang ikhlas, biar aku dan Tuhan yang tau. Tentang goresan luka yang kuterima, biar aku yang merasakannya, sendiri. Tentang air mata yang jatuh karena kau dan impianmu sekarang, biar aku yang mengelapnya sendiri. Tak masalah. Aku cukup mandiri untuk menyelesaikan urusanku yang sebenarnya terjadi karena dirimu. Aku baik-baik saja. Aku tetap akan menjadi sesosok perempuan ceria yang selalu terlihat tak pernah sedih, seperti yang orang-orang tahu.

Kau tahu, Sayang? Namamu masih sering kusebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Kau masih sesosok yang kudamba. Masih menjadi bintang yang menyinari gelapnya malam saat kusendiri. Aku suka caraku mengingat semua tentang kita, maksudku aku dan kamu.

Aku mencintaimu dalam kelamnya harapan yang ada. Kerinduanku kepadamu tetap seperti pendekar yang mengalahkan semuanya. Namamu dalam doaku bagai kasih ibu, yang hanya memberi tak pernah mengharap kembali.

Sedangkan aku dimatamu, bagai asap rokok, yang sengaja dihembuskan, lalu hilang tertiup angin. Aku menyukai saat menatapmu dalam doa, menemanimu dalam doa, menyentuhmu dalam hangatnya doa. Entah telah berapa tahun lamanya tak berjumpa, kau masih hangat dalam segenap jiwa ini. Senyum mematikanmu masih aku genggam selalu sampai air mata senantiasa menemani kepedihanku.

Jarak yang terbentang diantara kita tak menyurutkanku untuk tetap mendambamu, bukankah sebuah kalimat tak akan berarti jika tanpa jarak (spasi)? Begitu pula rasa canduku padamu, seperti jarak pada kalimat, memiliki arti disetiap jaraknya.
Kau tahu, Sayang?
Penantianku tak akan mengusikmu, akan terjaga dalam diam, akan ku genggam dalam diam. Aku mulai belajar mencintaimu tanpa pamrih, meski kau telah melangkah jauh sampai aku tak lagi bisa menggapaimu.

Kau tetap pendekar yang mengalahkan semuanya, lalu kau menggenggam hatiku, membawanya pergi jauh. Kemudian kau menghilang dan merangkul sosok baru itu. Ah entahlah. Aku tak menganggapnya ini sebuah obsesi. Kau bukan obsesiku, melainkan mimpi yang hanya sebentar aku miliki. Kau memang pendekar dihatiku, namun aku bukanlah pemenang dihatimu.

Aku tahu diri. Aku tahu siapa aku. Betapa bodohnya aku yang melulukan kamu. Semua yang membaca ini pun begitu mengantuk karena topikku selalu berkaitan tentangmu.
Bukan inginku yang selalu memikirkanmu, aku pun berusaha untuk mengubur anganku bahagia bersamamu saat aku tahu kebahagiaanmu bukan bersamaku.

Kau tahu, Sayang? Kini aku mulai menjalani aktivitas yang akan bisa membuatku lupa akan goresan luka karenamu.
Aku mulai melangkah, Sayang....
Jangan panggil aku saat aku mulai melakukan. Aku pun ingin mencari kebahagiaan baru dengan segala caraku nantinya. Aku sayang kenangan kita. Bukan sayang kamu. Aku harap kamu jangan menangisi orang yang tak menangisimu, yaa... Aku harap kau memperjuangkan orang yang sama-sama ingin berjuang yaa... jangan seperti aku yang pada akhirnya sia-sia.

Aku percaya, Tuhan mempunyai cara untuk aku dan kamu bahagia. Meski tak lagi berdampingan. Selamat menjalani aktivitasmu. Terima kasih telah memberi luka begitu dalam sampai kegemaranku menulis menjadi semakin tinggi. Terima kasih, Sayang.... :)

Rabu, 19 Februari 2014

Selamat tinggal titik hitam!

Ketika tak lagi menemukan pendengar yang baik, menulis adalah jalan keluar untuk menuangkan semuanya...

Berjalan terus tanpa henti, tanpa arah, tanpa tujuan. Bukan tak punya prinsip, hanya saja sedang kelam. Melihat kedepan pun seakan tak bisa, gelap, tak ada cahaya sedikitpun.
Mungkin sekarang bukan hanya terlihat tidak penting, namun memang benar-benar tidak penting.
'Rembesan' air mata yang tak kunjung kering, tak membantu. Semua tetap terjadi. Tak berubah.

Berjalan tanpa petunjuk, tak jelas, lelah dan memilukan.

Tak mungkin lagi berjalan menuju titik putih yang dahulu bercahaya dan sekarang telah menjadi hitam. Jika tetap memaksa, tetap tak akan sampai tujuan, karena tempat itu telah menjadi titik hitam. Titik hitam yang tak bisa dilihat oleh mata. Tidak jelas. Tak ada lagi tempat untuk aku datang ke tempat itu. Tak ada lagi ruang yang mengizinkanku untuk berada di tempat itu lagi.

Aku mulai berani melangkah ke tujuan lain. Tempat dimana mungkin aku bisa melihat setitik cahaya. Cahaya yang menjanjikan aku bisa melihat di tempat itu. Cahaya yang dengan senang hati berjuang demi aku ada disana.

Kini aku mulai berada menuju titik cahaya yang baru. Disertai perjuangan yang tak mudah, aku mulai melangkah. Dengan beberapa langkah lagi......

Namun saat aku menoleh ke titik gelap yang lalu. Aku bisa melihat sekilas titik gelap itu mulai bercahaya kembali. Hasratku ingin berbalik badan dan kembali melangkah menuju titik gelap yang kini mulai bercahaya kembali. Namun....
Aku pun melihat ada seseorang yang masuk menuju titik itu. Titik gelap yang kembali bercahaya.
Langkahku kembali mundur dan tak ingin kembali ke titik itu. Seperti ada tamparan keras yang menyadarkanku akan ada yang membuat titik gelap itu bercahaya lagi. Ya tentu saja. Bukan aku.

Tak bisa lagi aku meredam air mata yang menerjang. Tangisku membelakangi titik itu. Tak ingin ada yang tahu akan jatuhnya air mata yang kurang ajar ini....

Saat aku menatap ke depan. Ada setitik cahaya yang menunggu untuk aku datangi. Rasa malu dan hina masih aku genggam. Bertanya kepada diri sendiri betapa bodohnya menangisi ketidakjelasan.

Kakiku seperti dipegang erat oleh raksasa kenangan. Membuat langkahan kaki menuju tempat baru hampir terhenti. Sekuat tenaga menarik agar bisa melepaskan.
Kemudian jeritanku seperti menampar raksasa kenangan tadi. Jeritan dimana semua luka dan pilu bersatu untuk melepaskannya. Dengan rasa lelah, penat, dan sedih yang amat dalam, aku mulai melangkah.
Bisikan yang entah darimana asalnya, menyuruhku untuk ikhlas. Ikhlas dalam segala hal. Terutama dalam hal yang amat membuat hidup seakan tak adil dan tak berpihak....

Dengan mengelap air mata, aku mulai melangkah ke titik yang menungguku tadi.
Entah apa yang akan terjadi kedepannya, aku tak peduli. Yang aku ingin, aku segera tak lagi melihat titik yang meneteskan air mata tak bersalah. Tak akan ada lagi isakan tangis yang menghantui di malam hari. Tak akan ada lagi rengekan penyesalan.
Langkahan kaki ini akan menjadi awal dari segalanya yang baru. Dengan menghadirkan senyum, tawa, dan syukur... akan menendang jauh air mata akan ketidakjelasan.
Selamat tinggal titik gelap...