Rabu, 19 Februari 2014

Selamat tinggal titik hitam!

Ketika tak lagi menemukan pendengar yang baik, menulis adalah jalan keluar untuk menuangkan semuanya...

Berjalan terus tanpa henti, tanpa arah, tanpa tujuan. Bukan tak punya prinsip, hanya saja sedang kelam. Melihat kedepan pun seakan tak bisa, gelap, tak ada cahaya sedikitpun.
Mungkin sekarang bukan hanya terlihat tidak penting, namun memang benar-benar tidak penting.
'Rembesan' air mata yang tak kunjung kering, tak membantu. Semua tetap terjadi. Tak berubah.

Berjalan tanpa petunjuk, tak jelas, lelah dan memilukan.

Tak mungkin lagi berjalan menuju titik putih yang dahulu bercahaya dan sekarang telah menjadi hitam. Jika tetap memaksa, tetap tak akan sampai tujuan, karena tempat itu telah menjadi titik hitam. Titik hitam yang tak bisa dilihat oleh mata. Tidak jelas. Tak ada lagi tempat untuk aku datang ke tempat itu. Tak ada lagi ruang yang mengizinkanku untuk berada di tempat itu lagi.

Aku mulai berani melangkah ke tujuan lain. Tempat dimana mungkin aku bisa melihat setitik cahaya. Cahaya yang menjanjikan aku bisa melihat di tempat itu. Cahaya yang dengan senang hati berjuang demi aku ada disana.

Kini aku mulai berada menuju titik cahaya yang baru. Disertai perjuangan yang tak mudah, aku mulai melangkah. Dengan beberapa langkah lagi......

Namun saat aku menoleh ke titik gelap yang lalu. Aku bisa melihat sekilas titik gelap itu mulai bercahaya kembali. Hasratku ingin berbalik badan dan kembali melangkah menuju titik gelap yang kini mulai bercahaya kembali. Namun....
Aku pun melihat ada seseorang yang masuk menuju titik itu. Titik gelap yang kembali bercahaya.
Langkahku kembali mundur dan tak ingin kembali ke titik itu. Seperti ada tamparan keras yang menyadarkanku akan ada yang membuat titik gelap itu bercahaya lagi. Ya tentu saja. Bukan aku.

Tak bisa lagi aku meredam air mata yang menerjang. Tangisku membelakangi titik itu. Tak ingin ada yang tahu akan jatuhnya air mata yang kurang ajar ini....

Saat aku menatap ke depan. Ada setitik cahaya yang menunggu untuk aku datangi. Rasa malu dan hina masih aku genggam. Bertanya kepada diri sendiri betapa bodohnya menangisi ketidakjelasan.

Kakiku seperti dipegang erat oleh raksasa kenangan. Membuat langkahan kaki menuju tempat baru hampir terhenti. Sekuat tenaga menarik agar bisa melepaskan.
Kemudian jeritanku seperti menampar raksasa kenangan tadi. Jeritan dimana semua luka dan pilu bersatu untuk melepaskannya. Dengan rasa lelah, penat, dan sedih yang amat dalam, aku mulai melangkah.
Bisikan yang entah darimana asalnya, menyuruhku untuk ikhlas. Ikhlas dalam segala hal. Terutama dalam hal yang amat membuat hidup seakan tak adil dan tak berpihak....

Dengan mengelap air mata, aku mulai melangkah ke titik yang menungguku tadi.
Entah apa yang akan terjadi kedepannya, aku tak peduli. Yang aku ingin, aku segera tak lagi melihat titik yang meneteskan air mata tak bersalah. Tak akan ada lagi isakan tangis yang menghantui di malam hari. Tak akan ada lagi rengekan penyesalan.
Langkahan kaki ini akan menjadi awal dari segalanya yang baru. Dengan menghadirkan senyum, tawa, dan syukur... akan menendang jauh air mata akan ketidakjelasan.
Selamat tinggal titik gelap...