Lagi, otakku mulai kurang ajar, seenaknya memaksa jemari ini untuk menuliskan lagi tentang sosokmu..
Sosokmu yang maya, tak lagi dapat kulihat dengan jelas. Sosokmu yang abu-abu masih saja bisa menusuk relung hatiku. Entah kekuatan apa yang kau punya, kau selalu bisa menembus pagar yang aku bangun untuk tak memikirkanmu. Waktu yang semakin cepat berlalu, seakan sia-sia, aku masih saja mengingat senyum itu.
Masing-masing dari kita kini melangkah, hanya saja langkahanmu lebih jauh dari langkahanku. Bukan inginku untuk melangkah kecil, raksasa kenangan kembali menarikku. Tak kuasa aku untuk melepaskannya. Sedangkan kau yang terus melangkah, tak menoleh kehadapanku, sedikitpun. Aku hanya bisa melihat punggungmu yang hendak melangkah cepat dan mulai tak terlihat. Samar-samar.
Langkahanmu yang terlalu cepat, tak lagi dapat kuhentikan. Sedangkan aku disini masih terjebak dalam ruang nostalgia. Aku berteriak sekuat tenaga. Tak kuasa menahan air mata yang tak lagi bisa dibendung. "Mengapa dia pergi saat aku sedang butuh-butuhnya, Tuhan? Mengapa dia melupakan janji yang disebutnya seputih kapas?"
Bendungan air dari mataku mulai deras. Seluruh wajahku dibanjiri air mata tak berguna. Air mata kekecewaan yang kau pun acuh menyikapinya.
Sunyi sepi, hanya terdengar sesakan tangisanku tadi. Aku mulai menelaah tentang janji yang kau sebut seperti kapas, putih & bersih. Kapas memang putih juga bersih. Namun taukah bahwa kapas itu sangat rapuh, sangat sensitif, dan mudah hancur. Persis janjimu.
Awalnya putih & bersih, kemudian rapuh & hancur dimakan waktu. Sungguh bodohnya aku begitu percaya akan janji dustamu...
Aku ingin membencimu. Aku sangat ingin. Tapi aku kalah dengan hati. Hati ini tak rela membencimu. Hati ini malah merindukanmu. Hati ini selalu ingin merasakan hangatnya kasih sayangmu.
Sungguh sial. Bodoh, terlalu perasa!!!!
Aku tak lagi bisa melangkah dari bayangmu. Aku berhenti dan terdiam disini. Meski kini bayangmu telah bersama impian barumu. Aku tak apa. Aku rela melihat pundakmu merangkul impianmu. Tentang ikhlas, biar aku dan Tuhan yang tau. Tentang goresan luka yang kuterima, biar aku yang merasakannya, sendiri. Tentang air mata yang jatuh karena kau dan impianmu sekarang, biar aku yang mengelapnya sendiri. Tak masalah. Aku cukup mandiri untuk menyelesaikan urusanku yang sebenarnya terjadi karena dirimu. Aku baik-baik saja. Aku tetap akan menjadi sesosok perempuan ceria yang selalu terlihat tak pernah sedih, seperti yang orang-orang tahu.
Kau tahu, Sayang? Namamu masih sering kusebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Kau masih sesosok yang kudamba. Masih menjadi bintang yang menyinari gelapnya malam saat kusendiri. Aku suka caraku mengingat semua tentang kita, maksudku aku dan kamu.
Aku mencintaimu dalam kelamnya harapan yang ada. Kerinduanku kepadamu tetap seperti pendekar yang mengalahkan semuanya. Namamu dalam doaku bagai kasih ibu, yang hanya memberi tak pernah mengharap kembali.
Sedangkan aku dimatamu, bagai asap rokok, yang sengaja dihembuskan, lalu hilang tertiup angin. Aku menyukai saat menatapmu dalam doa, menemanimu dalam doa, menyentuhmu dalam hangatnya doa. Entah telah berapa tahun lamanya tak berjumpa, kau masih hangat dalam segenap jiwa ini. Senyum mematikanmu masih aku genggam selalu sampai air mata senantiasa menemani kepedihanku.
Jarak yang terbentang diantara kita tak menyurutkanku untuk tetap mendambamu, bukankah sebuah kalimat tak akan berarti jika tanpa jarak (spasi)? Begitu pula rasa canduku padamu, seperti jarak pada kalimat, memiliki arti disetiap jaraknya.
Kau tahu, Sayang?
Penantianku tak akan mengusikmu, akan terjaga dalam diam, akan ku genggam dalam diam. Aku mulai belajar mencintaimu tanpa pamrih, meski kau telah melangkah jauh sampai aku tak lagi bisa menggapaimu.
Kau tetap pendekar yang mengalahkan semuanya, lalu kau menggenggam hatiku, membawanya pergi jauh. Kemudian kau menghilang dan merangkul sosok baru itu. Ah entahlah. Aku tak menganggapnya ini sebuah obsesi. Kau bukan obsesiku, melainkan mimpi yang hanya sebentar aku miliki. Kau memang pendekar dihatiku, namun aku bukanlah pemenang dihatimu.
Aku tahu diri. Aku tahu siapa aku. Betapa bodohnya aku yang melulukan kamu. Semua yang membaca ini pun begitu mengantuk karena topikku selalu berkaitan tentangmu.
Bukan inginku yang selalu memikirkanmu, aku pun berusaha untuk mengubur anganku bahagia bersamamu saat aku tahu kebahagiaanmu bukan bersamaku.
Kau tahu, Sayang? Kini aku mulai menjalani aktivitas yang akan bisa membuatku lupa akan goresan luka karenamu.
Aku mulai melangkah, Sayang....
Jangan panggil aku saat aku mulai melakukan. Aku pun ingin mencari kebahagiaan baru dengan segala caraku nantinya. Aku sayang kenangan kita. Bukan sayang kamu. Aku harap kamu jangan menangisi orang yang tak menangisimu, yaa... Aku harap kau memperjuangkan orang yang sama-sama ingin berjuang yaa... jangan seperti aku yang pada akhirnya sia-sia.
Aku percaya, Tuhan mempunyai cara untuk aku dan kamu bahagia. Meski tak lagi berdampingan. Selamat menjalani aktivitasmu. Terima kasih telah memberi luka begitu dalam sampai kegemaranku menulis menjadi semakin tinggi. Terima kasih, Sayang.... :)
Sosokmu yang maya, tak lagi dapat kulihat dengan jelas. Sosokmu yang abu-abu masih saja bisa menusuk relung hatiku. Entah kekuatan apa yang kau punya, kau selalu bisa menembus pagar yang aku bangun untuk tak memikirkanmu. Waktu yang semakin cepat berlalu, seakan sia-sia, aku masih saja mengingat senyum itu.
Masing-masing dari kita kini melangkah, hanya saja langkahanmu lebih jauh dari langkahanku. Bukan inginku untuk melangkah kecil, raksasa kenangan kembali menarikku. Tak kuasa aku untuk melepaskannya. Sedangkan kau yang terus melangkah, tak menoleh kehadapanku, sedikitpun. Aku hanya bisa melihat punggungmu yang hendak melangkah cepat dan mulai tak terlihat. Samar-samar.
Langkahanmu yang terlalu cepat, tak lagi dapat kuhentikan. Sedangkan aku disini masih terjebak dalam ruang nostalgia. Aku berteriak sekuat tenaga. Tak kuasa menahan air mata yang tak lagi bisa dibendung. "Mengapa dia pergi saat aku sedang butuh-butuhnya, Tuhan? Mengapa dia melupakan janji yang disebutnya seputih kapas?"
Bendungan air dari mataku mulai deras. Seluruh wajahku dibanjiri air mata tak berguna. Air mata kekecewaan yang kau pun acuh menyikapinya.
Sunyi sepi, hanya terdengar sesakan tangisanku tadi. Aku mulai menelaah tentang janji yang kau sebut seperti kapas, putih & bersih. Kapas memang putih juga bersih. Namun taukah bahwa kapas itu sangat rapuh, sangat sensitif, dan mudah hancur. Persis janjimu.
Awalnya putih & bersih, kemudian rapuh & hancur dimakan waktu. Sungguh bodohnya aku begitu percaya akan janji dustamu...
Aku ingin membencimu. Aku sangat ingin. Tapi aku kalah dengan hati. Hati ini tak rela membencimu. Hati ini malah merindukanmu. Hati ini selalu ingin merasakan hangatnya kasih sayangmu.
Sungguh sial. Bodoh, terlalu perasa!!!!
Aku tak lagi bisa melangkah dari bayangmu. Aku berhenti dan terdiam disini. Meski kini bayangmu telah bersama impian barumu. Aku tak apa. Aku rela melihat pundakmu merangkul impianmu. Tentang ikhlas, biar aku dan Tuhan yang tau. Tentang goresan luka yang kuterima, biar aku yang merasakannya, sendiri. Tentang air mata yang jatuh karena kau dan impianmu sekarang, biar aku yang mengelapnya sendiri. Tak masalah. Aku cukup mandiri untuk menyelesaikan urusanku yang sebenarnya terjadi karena dirimu. Aku baik-baik saja. Aku tetap akan menjadi sesosok perempuan ceria yang selalu terlihat tak pernah sedih, seperti yang orang-orang tahu.
Kau tahu, Sayang? Namamu masih sering kusebut dalam doaku setelah nama kedua orangtuaku. Kau masih sesosok yang kudamba. Masih menjadi bintang yang menyinari gelapnya malam saat kusendiri. Aku suka caraku mengingat semua tentang kita, maksudku aku dan kamu.
Aku mencintaimu dalam kelamnya harapan yang ada. Kerinduanku kepadamu tetap seperti pendekar yang mengalahkan semuanya. Namamu dalam doaku bagai kasih ibu, yang hanya memberi tak pernah mengharap kembali.
Sedangkan aku dimatamu, bagai asap rokok, yang sengaja dihembuskan, lalu hilang tertiup angin. Aku menyukai saat menatapmu dalam doa, menemanimu dalam doa, menyentuhmu dalam hangatnya doa. Entah telah berapa tahun lamanya tak berjumpa, kau masih hangat dalam segenap jiwa ini. Senyum mematikanmu masih aku genggam selalu sampai air mata senantiasa menemani kepedihanku.
Jarak yang terbentang diantara kita tak menyurutkanku untuk tetap mendambamu, bukankah sebuah kalimat tak akan berarti jika tanpa jarak (spasi)? Begitu pula rasa canduku padamu, seperti jarak pada kalimat, memiliki arti disetiap jaraknya.
Kau tahu, Sayang?
Penantianku tak akan mengusikmu, akan terjaga dalam diam, akan ku genggam dalam diam. Aku mulai belajar mencintaimu tanpa pamrih, meski kau telah melangkah jauh sampai aku tak lagi bisa menggapaimu.
Kau tetap pendekar yang mengalahkan semuanya, lalu kau menggenggam hatiku, membawanya pergi jauh. Kemudian kau menghilang dan merangkul sosok baru itu. Ah entahlah. Aku tak menganggapnya ini sebuah obsesi. Kau bukan obsesiku, melainkan mimpi yang hanya sebentar aku miliki. Kau memang pendekar dihatiku, namun aku bukanlah pemenang dihatimu.
Aku tahu diri. Aku tahu siapa aku. Betapa bodohnya aku yang melulukan kamu. Semua yang membaca ini pun begitu mengantuk karena topikku selalu berkaitan tentangmu.
Bukan inginku yang selalu memikirkanmu, aku pun berusaha untuk mengubur anganku bahagia bersamamu saat aku tahu kebahagiaanmu bukan bersamaku.
Kau tahu, Sayang? Kini aku mulai menjalani aktivitas yang akan bisa membuatku lupa akan goresan luka karenamu.
Aku mulai melangkah, Sayang....
Jangan panggil aku saat aku mulai melakukan. Aku pun ingin mencari kebahagiaan baru dengan segala caraku nantinya. Aku sayang kenangan kita. Bukan sayang kamu. Aku harap kamu jangan menangisi orang yang tak menangisimu, yaa... Aku harap kau memperjuangkan orang yang sama-sama ingin berjuang yaa... jangan seperti aku yang pada akhirnya sia-sia.
Aku percaya, Tuhan mempunyai cara untuk aku dan kamu bahagia. Meski tak lagi berdampingan. Selamat menjalani aktivitasmu. Terima kasih telah memberi luka begitu dalam sampai kegemaranku menulis menjadi semakin tinggi. Terima kasih, Sayang.... :)